Panji Terakhir Zaid bin Khattab di Pertempuran Yamamah
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
A Yahya
28 - Oct - 2025, 10:54
JATIMTIMES - Di antara riuh sejarah Islam, nama Zaid bin Khattab berpendar dengan cahaya keberanian yang tak padam. Ia bukan sekadar saudara dari Umar bin Khattab, khalifah kedua umat Islam, tetapi juga seorang pejuang yang memilih jalan sunyi: berjuang tanpa pamrih, lalu gugur sebagai syahid di Perang Yamamah pada tahun ke-12 Hijriah.
Lahir dari Bani ‘Adi, salah satu cabang Quraisy yang disegani, Zaid dikenal dengan julukan Abu Abdirrahman. Ia termasuk dalam barisan pertama Muhajirin, kelompok yang meninggalkan tanah kelahiran demi menegakkan iman. Dalam setiap peperangan bersama Rasulullah SAW, Zaid hadir bukan sekadar sebagai prajurit, tetapi sebagai simbol keteguhan iman yang tak tergoyahkan.
Baca Juga : Yudisium XX Unisba Blitar: 699 Sarjana Siap Hadapi Transformasi Digital
Perang Yamamah bukan sekadar bentrokan dua pasukan; ia adalah ujian besar bagi umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di masa pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq, muncul ancaman serius dari seorang nabi palsu bernama Musailamah al-Kazzab. Dengan tipu daya dan propaganda, ia menghasut ribuan orang untuk memisahkan diri dari Islam, mengoyak persatuan yang baru tumbuh di Jazirah Arab.
Ketika Khalid bin Walid memimpin pasukan Islam menuju Yamamah, panji perang dipercayakan kepada Zaid bin Khattab. Amanah itu bukan sekadar bendera, melainkan simbol keyakinan seluruh pasukan bahwa Zaid adalah benteng terakhir yang tak akan mundur walau maut menatap dari depan.
Di antara pengikut Musailamah, ada satu nama yang menggelitik hati Zaid, Rajjal bin Unfuwwah. Dahulu, Rajjal adalah seorang penghafal Al-Qur’an, bahkan dikenal sebagai sahabat Nabi. Namun ilmunya justru menjadi senjata yang berbalik; ia murtad dan bergabung dengan Musailamah, menyesatkan banyak orang dengan klaim kenabian palsu. Rasulullah SAW pernah menyinggung akan datangnya seseorang dari umatnya yang akan menanggung azab besar di neraka, hingga giginya lebih besar dari Gunung Uhud. Setelah kemurtadan Rajjal, para sahabat meyakini sabda itu ditujukan padanya, sebuah peringatan tentang bahaya ilmu yang kehilangan nurani.
Ketika perang pecah, pasukan Muslim sempat terpukul mundur oleh jumlah musuh yang jauh lebih besar. Namun di tengah porak-poranda itu, Zaid berdiri tegak. Dengan tangan yang menggenggam erat panji Islam, ia berseru lantang agar kaum Muslimin bertahan. “Jangan mundur! Majulah di jalan Allah!” serunya, suaranya mengoyak kebingungan dan menghidupkan kembali semangat pasukan.
Zaid menerjang ke barisan musuh, menembus gelombang pedang dan tombak, hingga akhirnya berhadapan langsung dengan Rajjal. Dengan tekad yang telah menyatu dengan takdir, ia menebas sang pengkhianat di medan perang. Kematian Rajjal mengguncang barisan Musailamah. Semangat mereka runtuh, sementara kaum Muslimin bangkit kembali dengan kobaran jihad yang tak terbendung. Pertempuran berpindah ke Hadiqat al-Maut, “Taman Kematian”, di mana Musailamah akhirnya tewas dan kemenangan berpihak pada Islam.
Baca Juga : Setiap Sendi Butuh Sedekah: Rahasia Spiritual di Balik Gerakan Tubuh Manusia
Zaid bin Khattab gugur di tengah kemenangan itu, panjinya tetap tegak meski tubuhnya rebah. Saat kabar itu sampai kepada Umar bin Khattab, sang adik hanya mampu berucap lirih, “Rahmat Allah bagi Zaid. Ia mendahuluiku dalam dua hal: masuk Islam lebih dulu, dan gugur syahid lebih dulu pula.”
Nama Zaid mungkin tak sepopuler para sahabat besar lainnya, namun kisahnya tetap hidup sebagai pelajaran tentang iman yang tak mengenal kompromi, keberanian yang tak menuntut pujian, dan keteguhan hati yang tak pudar meski ajal menjemput.
