Jejak Toleransi Rasulullah SAW dalam Pergaulan Lintas Iman
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
24 - Dec - 2025, 09:56
JATIMTIMES - Di tengah hiruk-pikuk perbedaan, sejarah Islam justru menyimpan catatan sunyi tentang bagaimana kemanusiaan dipraktikkan tanpa syarat. Salah satu teladan paling kuat datang dari sosok Rasulullah Muhammad SAW, yang memperlakukan perbedaan keyakinan bukan sebagai jarak, melainkan ruang dialog dan saling menghormati.
Terkait hal itu, terdapat satu kisah yang kerap dirujuk para sejarawan tercatat dalam sirah Ibnu Ishaq. Diceritakan, rombongan umat Kristen dari Bani Najran pernah datang ke Madinah. Jumlah mereka sekitar 14 orang. Setibanya di kota itu, mereka langsung memasuki Masjid Nabawi, bertepatan dengan waktu Ashar, tak lama setelah Nabi dan para sahabat menunaikan salat.
Baca Juga : Niat Qadha Ramadhan dan Puasa Rajab, Bisa Dapat Dua Pahala? Ini Penjelasan Ulama
Situasi menjadi tak biasa ketika rombongan Bani Najran bersiap melakukan ibadah menurut ajaran mereka sendiri. Mereka menghadap ke arah timur dan memulai ritual keagamaan di dalam masjid. Sejumlah sahabat sempat merasa keberatan dan berniat melarang. Namun Nabi justru mengambil sikap sebaliknya. Beliau membiarkan ibadah itu berlangsung hingga selesai. Setelahnya, rombongan Kristen Najran tetap disambut dengan sikap ramah dan penuh penghormatan.
Sikap tersebut bukan sekadar gestur spontan. Dalam perjalanan sejarahnya, Rasulullah SAW bahkan membangun hubungan formal dengan komunitas Kristen Najran. Ia meminta Ali bin Abi Thalib menuliskan perjanjian damai yang menjamin keselamatan mereka. Isi perjanjian itu tegas: penduduk Najran dilindungi jiwa, harta, tanah, serta tempat ibadahnya. Anak-anak, perempuan, dan pemuka agama tidak boleh disakiti. Gereja dilarang dirusak, dan tidak ada paksaan yang mengganggu keyakinan mereka.
Naskah perjanjian itu diawali dengan basmalah dan memuat jaminan perlindungan atas seluruh penduduk Najran, baik yang hadir maupun tidak, selama mereka tidak mengubah kesepakatan yang telah ditetapkan. Para uskup, pendeta, dan penjaga gereja dijamin hak-haknya. Mereka tidak boleh diusir dari tanahnya, tidak diperas harta bendanya, dan wilayah mereka tidak boleh dilalui pasukan bersenjata. Sebuah kontrak sosial yang, untuk ukuran zamannya, terbilang progresif dan berani.
Kemanusiaan Nabi juga tercermin dalam peristiwa sederhana namun sarat makna. Suatu hari, iring-iringan jenazah seorang Yahudi melintas di hadapan Nabi. Spontan beliau berdiri. Para sahabat mengingatkan bahwa jenazah itu milik seorang Yahudi. Nabi menjawab singkat namun menohok, “Bukankah dia juga manusia?” Sebuah kalimat pendek, tapi maknanya panjang: martabat manusia tak runtuh hanya karena perbedaan iman.
Baca Juga : Apa Itu Christmas Eve atau Malam Natal? Ini Sejarah, Makna, dan Tradisinya
Dalam literatur Ghairu al-Muslim fi al-Mujtama’ al-Islami karya Yusuf Qardhawi, digambarkan bahwa selama hidup di Makkah dan Madinah, Nabi tidak menjaga jarak dengan non-Muslim. Ia kerap bersilaturahmi dengan tetangga yang berbeda keyakinan, menjenguk mereka yang sakit, dan turut berbelasungkawa saat ada yang meninggal. Relasi sosial dibangun di atas empati, bukan sekat identitas.
Bahkan, Rasulullah SAW memiliki sahabat dekat dari kalangan Yahudi bernama Mukhairiq. Ia dikenal sebagai pendeta yang alim sekaligus pemilik kebun kurma luas di Madinah. Pada Perang Uhud tahun ketiga Hijriah, Mukhairiq memilih membantu Nabi dan kaum Muslimin. Menjelang turun ke medan perang, ia berwasiat: jika gugur, seluruh hartanya dihibahkan untuk kepentingan umat Islam Madinah. Wasiat itu kemudian menjadi salah satu sumber wakaf awal dalam sejarah Islam.
